Pernahkah kalian melihat hantu? Kata nenekku,
sewaktu muda dahulu beliau pernah dihadang kuntilanak di dekat pohon asam tua
di tengah desa. Masa iya sih? Aku tidak percaya. Ibuku juga pernah bercerita
kalau setiap akan nada orang meninggal, pohon bambu di belakang rumah pasti
berbunyi “klotak klotak”. Tapi aku juga belum pernah mendengar bunyinya. Masih
banyak lagi cerita lain yang menceritakan tentang keseraman hantu atau hal
berbau klenik lain. Tapi masa iya sih? Manusia dan hantu kan punya dua dunia
yang berbeda. Ngapain juga hantu ganggu kita? Kurang kerjaan banget kan. Opini
pribadiku ini bertahan sampai suatu ketika…
Saat itu aku sedang dalam perjalanan pulang dari
Yogyakarta ke Purworejo. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 malam lebih
kurasa. Aku sendirian, mengendarai motorku. Dari kota Purworejo sampai rumahku,
aku masih harus menempuh perjalanan kurang lebih 15 menit, karena rumahku
berjarak 12 km dari pusat kota. Dari kota sampai pertigaan daerah bernama
Maron, suasana masih biasa saja. Masih banyak lampu jalan dan rumah penduduk di
area sepanjang jalan itu. Namun, jalanan mulai sepi ketika motorku mulai melaju
dari arah desa Maron ke rumahku. Hmm, masih empat kilometer lagi baru aku bisa
merebahkan badanku di kasur empukku.
Dari pertigaan desa itu, ada sebuah tempat yang
kata orang dianggap sebagai tempat yang penuh misteri dan angker. Setono
Segemblong. Setono adalah istilah yang diambil dari bahasa Jawa setempat yang
artinya kuburan. Kuburan itu bernama Kuburan Segemblong, atau Setono
Segemblong.
Perasaan takut dan was-was mulai menggerayangiku
ketika aku memasuki daerah Jetak, kurang lebih 200 meter dari pertigaan Maron.
Sebenarnya ketakutanku bukan berasal dari adanya hantu. Hari gini masa iya ada
hantu, pikirku. Lagian kan aku naik motor, bisa langsung tancap gas kalau
dikejar. Ya kan? Ketakutanku lebih berasal dari adanya rampok atau penjahat
yang bisa saja menghadangku di jalan. Berkeliarannya makhluk cantik macam aku
malam-malam seperti ini pasti kan mengundang bandit (eh eh eh, cantik ya…jadi
batuk). Memasuki daerah Jetak, aku mulai menggigil kedinginan. Maklum saat itu
hujan deras. Lampu rumah penduduk di sekitar daerah itu padam total, dan tidak
ada lampu penerangan jalan di area itu. Busyet dah. Gelap banget. Seratus meter,
dua ratus meter, dan akhirnya sebentar lagi aku akan melewati Setono Segemblong
yang terkenal angker itu. Ketika aku melintas pas di depan gerbang kuburan itu,
tiba-tiba motorku berhenti. Apaan lagi ini! Malah mogok. Pas di gerbang pula.
Sialan, umpatku dalam hati. Aku pun turun dari motorku. Kutendang ban motor
untuk melampiaskan kejengkelanku seperti dalam sinetron-sinetron di TV. Hujan
belum kunjung reda. Daerah itu juga sepi, tak ada satu rumah pun yang berdiri
di sekitar kuburan itu. Ya iyalah! Secara itu kuburan, masa mau dirikan rumah
dekat-dekat situ, kayak tidak ada tempat lain aja. Kukeluarkan HPku, berniat
menelepon bapakku, minta dijemput. Tapi
ternyata HP itu mati. Ingin rasanya aku berteriak minta pertolongan saat
itu. Tapi mana ada orang lewatj jam segitu? Ini bukan kota metropolitan, bung! Aku
terduduk di pinggiran jalan, berharap akan ada mobil atau kendaraan lain yang
lewat, dalam kondisi HAMPIR menangis (seingatku, terakhir kali aku menangis
adalah pas aku lahir, hehe). Rasanya seperti seratus tahun aku diam di sana.
Tapi ternyata baru sepuluh menit. Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali
menunggu. Aku belum pernah mengalami hal yang namanya mogok di jalan sepi
sebelum ini. Tiba-tiba, ada suara memanggilku.
“Motornya kenapa mbak?” seorang bapak separuh
baya muncul. Entah darimana datangnya si bapak ini. Dia mengenakan sarung yang
dikalungkan di lehernya, celana pendek tiga perempat seperti yang biasa
dikenakan oleh orang Madura, sandal jepit, kaos warna gelap, dan peci hitam.
Tangan kanannya menggenggam payung warna hitam. Kurang lebih penampilannya
seperti itu. Aku lupa. Maklum saja, kejadiannya kan sudah dua tahun lalu.
“Mogok Pak, tidak tahu kenapa” jawabku sedikit
lega karena akhirnya ada orang lewat. Bapak ini mungkin adalah salah seorang warga yang sedang jaga
ronda malam ini, pikirku.
“Sini saya bantu” si bapak itu langsung
memeriksa motorku.
Kurang lebih lima menit setelah bapak itu
melihat dan mengecek motorku, si motor yang kunamai Edgarda ini bisa menyala.
Edgarda adalah kata yang berasal dari bahasa Anglo Saxon, kalau tidak salah, yang
berarti pahlawan sejati.
“Alhamdulilah” batinku.
“Ini mbak, motornya sudah menyala. Saya permisi
dahulu” kata si bapak itu berpamitan.
“Duh, terimakasih sekali Pak… Ini ada sedikit
ongkos buat beli rokok untuk Bapak. Anggap saja sebagai ungkapan terimakasih
dari saya” kataku sembari menyorongkan selembar uang sepuluh ribuan pada
malaikat penyelamatku itu.
“Tidak usah Mbak. Rusaknya tidak parah kok. Saya
permisi dulu” kata orang itu sambil berlalu pergi.
“Ya sudahlah. Tapi saya terimakasih sekali ya”
jawabku setengah berteriak karena orang itu hamper lenyap ditelan pekatnya
malam dan derasnya hujan. Lumayan, uangku yang sepuluh ribu tidak jadi
melayang. Masih bisa kupakai untuk jajanku esok hari, hi hi hi.
Aku sudah bersiap-siap untuk men-starter
motorku. Kucoba sekali, tapi kok tidak berhasil. Mati. Kugenjot starter manual
di sebelah kanan kakiku. Tidak berhasil. Kuulangi lagi berkali-kali. Tetap
tidak mau hidup juga. Kutolehkan kepalaku ke arah si bapak tadi menghilang.
Rasanya dia berjalan kearah selatan.
“Paaakkk, tolong saya lagi Pak! Motor saya mogok
lagi!” teriakku panik.
Tidak ada sahutan atau suara yang menjawabku.
Aneh. Padahal belum ada semenit lalu si bapak itu pergi meninggalkanku. Kok sekarang
sudah raib.
Tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Entah apa yang
membuat rasa takut yang begitu mencekam melandaku. Jangan-jangan si bapak tadi
hantu!!! Aku tidak mau lagi duduk menunggu bala bantuan yang hendak membantuku
seperti yang kulakukan tadi. Langsung saja kudorong motorku, balik lagi ke arah
Maron. Daerah di sekitar itu memang tidak datar. Rumahku terletak di area yang
lumayan tinggi, sehingga jika ada motor mogok atau kehabisan bensin bisa
mendorong saja turun ke desa Maron tanpa perlu menghidupkan mesinnya. Tak kuasa
lagi aku menahan rasa cemas dan takut di hati dan otakku. Pelan tapi pasti,
motorku melaju ke bawah. Jantungku berdegup kencang tidak karuan. Sumpah aku
ketakutan setengah mati. Sesampainya di pertigaan desa Maron, motorku hidup kembali.
Hidup sendiri tanpa kuapa-apakan. Astaga naga! Apalagi ini? Tapi syukurlah ya
Allah.
Kutata napasku selama lima menit. Kubaca
basmalah dan ayat kursi. Lalu kuputar balik motorku. Kukumpulkan keberanianku
untuk pulang. “Pulang” menjadi kata yang amat menyeramkan buatku. Bagaimana
tidak? Kalau aku mau pulang, berarti aku harus melewati kuburan itu lagi.
Bagaimana kalau motorku mogok lagi di tempat itu? Kubuang jauh-jauh pikiran
itu. Kubulatkan tekad untuk melewati kuburan itu. Lalu dengan membaca doa,
kulajukan motorku. Dan akhirnya…lima menit setelah saat itu…aku berhasil sampai
di rumah. Dengan selamat.
Itulah pengalamanku. Nyata, bukan rekaan semata.
Sampai saat ini, aku masih juga tidak tahu apakah si bapak yang menolongku itu
manusia atau bukan. Tidak juga kupikirkan kuburan itu angker atau tidak. Yang
jelas, setan itu memang ada. Mereka hidup berdampingan dengan kita. Tapi
yakinlan, Allah selalu ada untuk melindungi kita, hamba yang sangat
dicintai-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar