Diam. Sepi. Sunyi sekali
rumahku hari ini. Padahal, hari ini masih merupakan hari ke-enam Idul Fitri.
Dahulu kala, saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar, aku biasa
menghabiskan tujuh hari dalam tiap-tiap bulan Syawal untuk mengunjungi sanak
saudara. Kegiatan itu terjadi di setiap bulan Syawal dulu sekali, kurang lebih
lima belas tahun lalu, tentu saja bersama kedua orangtuaku yang galak tapi amat
sangat kucintai (sorry, mommy J ).
Namun saat ini, semua kebiasaan berubah 180 derajat. Memang sesuatu itu tidak
pernah ada yang abadi. Laku kehidupan mengalir seperti perputaran roda. Dahulu,
keluarga kami yang datang berkunjung. Namun sekarang, kami yang dikunjungi.
Agak bosan memang buatku kalau hanya menunggu tamu seharian di rumah. Iseng
iseng, kubuka handphoneku. Ada satu SMS dari Tom, teman kuliahku di
universitas. Nama aslinya adalah Nanik Sri Retnaningsih. Namun, aku biasa
memanggilnya dengan sapaan Tom, karena dia “tom”boy. Penampilannya tidak ubahnya
seperti anak laki-laki. Sepatu kets, kaos oblong, tas ransel, dan topi. Dia
suka sekali minum es. Kulitnya putih, pertama bertemu dengannya kupikir dia
adalah seorang warga negara keturunan, dan wajahnya cantik. Tapi karena
penampilannya yang tomboy ini, beberapa
temanku malah menganggap dia ganteng. Sebagian teman kuliahku memanggil dia
Gates, karena dia suka sekali dengan penyanyi bernama Gareth Gates. Seingatku,
hanya ada dua orang yang memanggilnya dengan panggilan “Nanik”, yaitu Mba
Wastuti dan Dyanggih. Sedangkan temanku yang lain yang bernama Suprek
memanggilnya dengan panggilan Mba Nanik. Dalam SMSnya itu, Tom menulis “You got
a reward from Suprek”. Entah apa maksud SMS itu.
Suprek atau Supri adalah
teman PPLku dan Tom sewaktu kami mengajar di SMA Negeri 1 Surakarta tahun 2009
lalu. Aku dan Tom berasal dari jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Sedangkan
Supri dan sahabat karibnya Dyanggih, adalah mahasiswa praktikan Universitas
Sebelas Maret dari jurusan Pendidikan Olahraga. Aku dan Tom menyebut mereka
berdua sebagai Duo Gaptek Dyanggih dan Supri. Betapa tidak, di zaman modern
seperti ini, yang bahkan laptop dimiliki dan dioperasikan hampir semua anak TK,
justru sama sekali tidak dikuasai oleh mereka berdua. SAMA SEKALI! Ketika masa
akhir PPL tiba, semua mahasiswa harus mengumpulkan laporan observasi tentang
sekolah yang kami tempati. Tentu saja all must be computerized. Dan dua makhluk
aneh itu menghabiskan hampir setiap waktu sore mereka di boarding house alias
kostku untuk merayuku dan Tom agar membantu mereka mengerjakan laporan mereka. Karpet
merah kesayangankupun harus rela digelar berhari-hari di ruang tamu sebagai
alas tidur mereka ketika mereka lelah. Baru setelah jam dinding menunjukkan
pukul 21.00, tanda waktu kunjung kost berakhir, mereka akan melenggang keluar
dengan meninggalkan sisa makanan dan tempat yang berserakan. Ke-gaptekan Supri
bahkan lebih parah. Di saat semua siswa sudah punya akun twitter dan facebook,
Supri baru memiliki facebook beberapa bulan lalu. Itu saja tidak pernah di
update.
Dyanggih adalah mahasiswa
yang berasal dari Pati. Teman-teman memanggilnya Anggeh. Sedangkan aku lebih
suka memanggilnya dengan sebuat “Dy”, karena lebih simple. Anaknya lumayan ramah dan suka menolong. Suka
berbicara dengan memakai bahasa Inggris yang kacau balau. Tingkah lakunya
lumayan dewasa, mungkin karena dia adalah anak sulung di keluarganya. Satu
kebiasaanya yang tidak pernah bisa kulupakan adalah dia suka sekali tidur di
sembarang tempat. Dia bahkan pernah meninggalkan bekas pulau buatan di karpet
merah kesayanganku. Aku juga masih menyimpan fotonya yang tertidur lelap di
ruang PPL. You look so cute in that pic, pal.
Sedikit berbeda dengan
Dyanggih, Supri merupakan manusia yang sedikit menyebalkan menurut Tom,
menurutku biasa saja. Dia berasal dari kota yang sama dengan Tom, Sukoharjo.
Tidak dapat kupungkiri, anak itu memang sedikit sok dan “kemaki”, tapi pada
dasarnya dia lumayan baik dan punya kebiasaan aneh. Aku masih ingat ketika sore
itu dia ke kostku dengan memakai kaos kaki dan sandal berwarna pink. Dia juga
memakai kotak pensil yang lucu, seperti yang dimiliki oleh kebanyakan anak
perempuan. Kata Tom, kotak pensil itu masih ada sampai sekarang. Tulisannya
juga sangat rapi, bahkan lebih rapi dari tulisanku yang sudah terkenal sebagai
tulisan paling rapi seantero negeri (opiniku sendiri, hehehe). Anak ini suka
sekali pada warna merah. Sepeda motornya, kaos olahraganya, sepatunya, semua
berwarna merah. Aku bahkan belum pernah melihat Supri mengenakan kaos lain
selain warna merah, entah saking banyaknya kaos merah atau dia memang hanya
punya satu. Hehehe. Tapi, makhluk aneh ini sungguh sangat setia pada sahabatnya
yang bernama Dyanggih. Beberapa kali dia bersungut-sungut di depan kami,
melaporkan kelakuan Dyanggih yang hobi sekali molor. Dia jemput Dyanggih ke
sekolah pukul enam, tapi si Anggeh ini masih nyenyak bermimpi. Tentu saja Supri
harus menungguinya mandi sampai melahap sarapan sama seperti seorang cowok yang
menanti kekasihnya berdandan. Dan hal ini terjadi berulang kali. Tapi meski
seringkali mengeluh, toh Supri tetap saja menjemput Dyanggih dan mengulangi
keluhannya pada kami.
Bnayak hal lucu tentang mereka
yang masih berputar-putar di memoriku sampai sekarang. Contohnya tentang
istilah “lele”, “nggapleki”, dan “nggateli” yang mereka ajarkan padaku dan Tom.
Ketika mengumpat, Dyanggih suka sekali menggunakan istilah “lele”. Sedangkan
Supri, lebih sering mengatakan “nggateli” dan “nggapleki”. Entah apa arti
istilah itu. Sampai sekarang aku tidak pernah tahu. Satu hal lucu lain tentang
mereka adalah ketika mereka berdua masuk tergopoh-gopoh ke ruang PPL di SMA 1
dalam kondisi panik dengan keringat yang tak henti-hentinya mengalir dari leher
Supri. Dyanggih berusaha menenangkan sahabat sejatinya itu. Ketika Tom bertanya
apa yang terjadi, mereka berdua, dengan nada ketakutan bercerita bahwa ketika
mereka mangajar, seorang siswa cedera. Entah apa yang mereka lakukan hingga katanya
membuat kepala siswa itu berdarah-darah. Dari ceritanya, sepertinya keadaan
siswa itu biasa saja. Tapi dasar Dyanggih-Supri ini orangnya super duper lebay,
hal semacam itu sempat membuat adrenalin kami terpacu keras, melebihi keseraman
film Suster Ngesot atau Hantu Casablanca. Kelakuan duo ini, terutama sifat
kemaki Supri, tentu saja membuat Tom berang. Selama ini, teman kami di program
studi (prodi) Bahasa Inggris semuanya normal. Tapi di sisi lain belahan bumi
ini, ternyata ada manuasia yang benar-benar “weird” seperti mereka.
Kembali lagi ke SMS dari Tom
yang baru saja kubaca. Sekarang ini, aku merasa akhirnya perseteruan searah
antara Tom dan Supri sudah hampir usai (akhirnya…). Kusebut perseteruan searah
karena nampaknya hanya Tom yang sering keberatan dengan kelakuan Supri, sedang
Supri malah semakin gencar menggoda kalau Tom terlihat marah. Dari SMS Supri beberapa
hari lalu yang mengatakan mereka punya proyek bersama, juga telah
mengindikasikan kalau mereka tidak keberatan terlibat dalam satu pekerjaan.
Masih segar dalam ingatanku tentang berbagai kejadian kebencian Tom pada Supri
dua tahun lalu. Saking bencinya, Tom (dan juga aku) suka menyebut Supri sebagai
salah satu lakon game bernama Poke yang setiap hari kami mainkan. Saat itu,
semua mahasiswa PPL di SMA 1 terkena syndrome game poke, kami menyebutnya.
Kalau kami sedang tidak ada tugas, dapat dipastikan kami akan nongkrong di
depan laptop atau komputer ruang PPL untuk menyelesaikan game poke bersama. Sebenarnya
tidak semua. Hanya aku, Tom, Tutur, Khitna, Dyanggih, dan Supri saja yang
tergila-gila dengan game ini. Tutur dan Khitna adalah dua orang mahasiswa
genius dari prodi Matematika. Karena kejeniusan itu, mereka kami paksa untuk
membantu permainan. Selain kami, semua normal dan menjalankan tugas dengan
penuh tanggungjawab. Mereka bahkan tidak sempat menyambangi file atau program
berbau game atau sejenisnya. Nah, di game poke ini ada seekor lakon berwujud
monyet. Kami berdua, Tom dan aku, suka sekali cekikikan setiap melihat ikon
game ini. Kami merepresentasikan monyet ini sebagai Supri di dunia game.
KEJAMNYA! Ini juga salah satu alasanku beberapa hari yang lalu mengirimi SMS
permohonan maaf. Dosaku dan Tom di masa lalu cukup membuat kami berlama-lama di
neraka kelak. Hehe, peace…Supri!
Pertemanan erat antara Tom
dan aku dengan duo gaptek Dyanggih dan Supri memang hanya enam bulan selama
masa PPL saja (bayangkan, kami berdua melewati masa-masa menyedihkan bersama
duo gaptek yang payah selama enam bulan, padahal PPL universitas di kotaku
hanya PPL selama dua bulan) memang tidak selalu menyenangkan. Namun, kenangan
aneh bersama mereka cukup bisa membuatku tersenyum bila mengingatnya. Kadang
juga membuatku bisa menangis merindukan mereka karena mustahil bagi kami untuk
mengulangi masa pergi membunuh (baca:
go kill) kami dulu. Dyanggih saat ini tinggal di Jakarta, menjadi seorang guru
olahraga di sebuah sekolah dasar bertaraf internasional. Tom tinggal di
Wonoharjo, sebuah tempat perbatasan antara Sukoharjo dan Wonogiri, tempat
asalnya. Aku tinggal di kota asalku juga, Purworejo Berirama. Sedangkan Supri,
entah hidup di mana. Meski aku masih menyimpan nomor handphonenya, rasanya
enggan untuk bertanya. Well, you must know guys, I miss you much. I luph u all.
^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar