“Kuliah lagi?” kalimat itulah yang pertama kali mengalir di otakku
tatkala orangtuaku menghendaki aku melanjutkan studiku ke jenjang
pascasarjana. Kuliah S2? Buat apa? Aku tidak begitu tertarik untuk
berkutat lagi dengan segudang buku dan handout kuliah. Memikirkannya
saja sudah membuat kepalaku pening. Ditambah lagi, aku juga bekerja.
Bekerja diPurworejo lalu kuliah di Yogya/Solo? No way!
Singkat
kata, akhirnya aku dinyatakan diterima di UNS, kampus tempatku menimba
ilmu dulu di S1. Tanpa terasa, satu semester yang “berdarah-darah” pun
telah kulewati bersama dengan teman-teman seperjuanganku di kelas
Paralel 1B 2013. Tidak seperti kuliah di jenjang S1 yang berjalan mulus
layaknya jalan tol Daendels di ujung selatan kota Purworejo, perjalanan
kuliahku diwarnai dengan banyak noda dan rintangan yang cukup membuatku
ambruk ke ruang klinik dokter Budi beberapa kali.
Let
me explain my “hard journey”. Pertama, ada satu hal yang membuatku
memilih UNS sebagai tempat kuliahku di jenjang S2: ada kelas parallel
dua hari, sekali dalam dua minggu. Maka, ketika Kaprodiku mengumumkan
tidak adanya kelas parallel saat kuliah perdana, kontan rasanya dunia
mau kiamat. Terus aku piye?????? Padahal sudah terlanjur bayar untuk SPP
semester 1. Kalau aku lanjut, berarti aku harus berhenti kerja (padahal
belum tentu Kepsekku member izin. Scara pengunduran diriku bakal
mendadak, ditengah-tengah tahun ajaran pula). Kalau tidak jadi kuliah,
uang enam juta-kuhangus, hilang melayang. Satu minggu, dua minggu, aku
dan teman-teman yang ngotot untuk tetap diadakan kelas pararel dengan
terpaksa harus mengikuti perkuliahan dengan jadwal kuliah kelas regular:
Kamis, Jumat, Sabtu. Untung saja, saat itu pas kebetulan tanggal merah.
Minggu berikutnya, pas ada TUC Kabupaten. God saved me.
Tralala!
Tiba-tiba ada keajaiban terjadi. Hari itu, aku ingat betul. Suatu sore
yang ternyata memberi pencerahan bagi kami yang berjuang untuk kelas
Paralel. Kelas Paralel jadi dibuka, asalkan ada 20 mahasiswa yang
mendaftar. Well. Tidak sampai 20 mahasiswa yang mau. Sampai detik itu,
16:48, baru ada 19 mahasiswa yang mendaftar. Satu menit kemudian, satu
mahasiswa bahkan malah mengundurkan diri. Rasanya perutku tambah mau
muntah saja. Tiba-tiba, masuklah Pak Indro, mahasiswa dari Jogja, dan
mengumumkan bahwa beliau dan Bu Madya, teman kuliah kami yang ternyata
juga adalah istrinya akan masuk kelas Paralel. Akhirnya……… Genap 20
mahasiswa. Allah memang sudah mengatur jalan kuliah kami sedemikian
rupa. Berliku, tapi happy ending di akhir kisahnya.
Rasa
cemas dan kekhawatiranku tidak berhenti sampai hal itu saja. Di hari
pertama kami mengawali kuliah kami dengan jadwal baru di kelas parallel,
aku datang terlambat. Biasanya, aku naik keretapukul 04.00. Namun, saat
itu kereta tidak juga datang. Padahal, jam tanganku sudah menunjukkan
pukul 05.00. Kuliah Linguistics Mr Martono dimulai pukul 07.30.
Walhasil, aku terlambat dua jam di kuliah pertama. Haha.
Bukan
hanya itu saja. Setiap kali aku membaca semua status teman-temanku di
kelas regular, aku hanya mampu menelan ludah dan merasa tak berarti
apa-apa. Untuk mengerjakan projek video Academic Speaking dari Bu Dewi
saja, mereka sampai menyewa aula Pascasarjana, membawa segala alat rekam
canggih yang namanya-pun bahkan aku tak tahu. Sedangkan aku dan
teman-teman di kelas parallel, hanya mebuat video dengan kamera digital
ala kadarnya. Meski tidak seperti teman-teman yang mengambil shooting di
kelas, aku menggunakan jasa murid-murid di sekolah sebagai objek
seminar kecilku. Dengan pinjaman kamera dari UPHI sekolah, cameramen
seorang toolman sekolah, dan editor oleh seorang guru Kimia, berjalanlah
shooting videoku. (Mas Bud dan Ki Edy Riwayat, saya berhutang bud pada
Anda berdua). Entah setan apayang menggangguku saat itu. Untuk meng-copy
hasil video dari memory card kamera ke laptop saja, butuh waktu 4 JAM!
Malam harinya, walau harus begadang sampai pagi, editan video-ku jadi.
Alhamdulilaaaahhh.
Ada lagi satu kejadian bersejarah
yang nyaris saja berbingkai darah ketika kuliah terkhir. Waktu itu aku
harus berangkat ke Solo sendiri. Ndilalah, tak ada seorang-pun yang bisa
mengantarkuke stasiun. Akhirnya, kubawa sendiri motorku. Apesnya,
tiba-tiba tas dokumenku yang kucantolkan di cantolan motor samping kanan
terjatuh. Padahal, dalam tas itu tersimpan semua dokumen kuliah,
flashdisk, juga semua print out tugas. Jatuhnya,tepat di tengah jalan
raya (soalnya saia suka ngebut, jadi jalan di tengah,niatnya kan biar
cepat sampai gitcu...) Kontan saja kuberhentikan motorku ditengah jalan.
Pikiranku hanya satu: SELAMATKAN TAS ITU. Tanpa kusadari, sebuahtruk
container beroda 12 yang berisi berpuluh-puluh karung pupuk hampir
sajamelindasku. AAAAAAGGGGGHHHHHHHH!!! Tapi tenang saja: AKU SELAMAT.
Setiap
kali bertemu teman-teman lamaku (entah teman SMP atau SMA), selalu
kudengar pertanyaan yang sama: Kok semakin kurus saja? Kadang, risih
juga mendengarnya. Padahal, aku juga sudah menghabiskan
berkaleng-kalengsusu Weight Gain. Nyatanya, tanpa hasil. Dalam hati, aku
selalu menggerutu setiap mendengar pertanyaan itu. Bagaimana mau gemuk?
Setiap Minggu dan Senin, aku harus kuliah dari jam setengah delapan
pagi sampai Sembilan malam. Pagiharinya, Selasa tepat pukul tujuh, aku
harus sudah mengoceh di depan para siswaku sampai kurang lebih pukul
tiga sore. Belum lagi kalau ada tugas. Hampir setiap hari harus begadang
sampai pagi mengerjakan semua tugas itu. Dari semua tugasitu, ada satu
makalah yang sampai membuatku berkunjung ke klinik Dokter Budi:
FILSAFAT. Bukan sekali atau dua kali, tapi tiga kali. Kata dokter, aku
stress hingga membuat-ku Insomnia. Bagaimana gak insomnia? Mau
kukerjakan makalah itu, aku jelas gak bisa. Kalau kutinggal tidur, sama
saja mataku terbayang-bayang wajah dosen GENIUSku yang tentu akan
membabat habis makalahku tanpa sisa. Sepertinya, otakku hanyalah
seperseratus isi otak beliau. Prof Joko. Tak peduli seberapa kuat badai
menghempas negeri Indonesia, kisah hidup Anda akan selalumenginspirasi
saya. Bahwa kita memang harus bekerja keras super keras (meski harus
sampai jatuh sakit macam saya….) untuk mendapatkan hasil yang minimal
mendekati sempurna.
Akhirnya, dengan ditemani I
WON’TGIVE UP milik Jason Mras, lagu kebangsaanku di era pascasarjana
ini, (lagu kebangsaanku di zaman S1 adalah Armada Masa Depan milik Ada
Band, silakan download) dan secangkir kopi Good Day di hampir setiap
malam, telah kulewati semester 1 kuliahku. Finally, it is done!
Kukumpulkan lagi remahan-remahan semangatku untuk menjalani kuliah lagi
di semester 2, 1 SEPTEMBER2013. Akhir semester 1 ini bukanlah akhir dari
semua perjuangan kami. Gerilya ini masih akan terus berlanjut. Dan lagu
milik Jason Mras itupun masih akan terus mengalun….
"I won't give up on us
Even if the skies get rough
I'm giving you all my love
I'm still looking up
'Cause even the stars they burn
Some even fall to the earth
We've got a lot to learn
God knows we're worth it
No, i won't give up”
SEMANGAT! MARI BERJUANG LAGI, KAWAN!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
IHT 2019
download here: https://drive.google.com/file/d/1lcitNhP0T9GSS7mMimlo9hpthf-Cn4Id/view?usp=sharing
-
Dalam rangka menyambut bandara baru NYIA (New Yogyakarta International Airport) yang rencananya akan beroperasi di akhir 2019, SMK TKM Tekni...
-
Hampir seluruh orang menyukai musik. Pada hakekatnya, musik adalah seni menyusun nada atau suara dalam urutan, kombinasi, dan hubungan temp...
-
http://www.manythings.org/voa/words/25.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar