Minggu, 26 Agustus 2012

Duo Gaptek Dyanggih Supri


Diam. Sepi. Sunyi sekali rumahku hari ini. Padahal, hari ini masih merupakan hari ke-enam Idul Fitri. Dahulu kala, saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar, aku biasa menghabiskan tujuh hari dalam tiap-tiap bulan Syawal untuk mengunjungi sanak saudara. Kegiatan itu terjadi di setiap bulan Syawal dulu sekali, kurang lebih lima belas tahun lalu, tentu saja bersama kedua orangtuaku yang galak tapi amat sangat kucintai (sorry, mommy J ). Namun saat ini, semua kebiasaan berubah 180 derajat. Memang sesuatu itu tidak pernah ada yang abadi. Laku kehidupan mengalir seperti perputaran roda. Dahulu, keluarga kami yang datang berkunjung. Namun sekarang, kami yang dikunjungi. Agak bosan memang buatku kalau hanya menunggu tamu seharian di rumah. Iseng iseng, kubuka handphoneku. Ada satu SMS dari Tom, teman kuliahku di universitas. Nama aslinya adalah Nanik Sri Retnaningsih. Namun, aku biasa memanggilnya dengan sapaan Tom, karena dia “tom”boy. Penampilannya tidak ubahnya seperti anak laki-laki. Sepatu kets, kaos oblong, tas ransel, dan topi. Dia suka sekali minum es. Kulitnya putih, pertama bertemu dengannya kupikir dia adalah seorang warga negara keturunan, dan wajahnya cantik. Tapi karena penampilannya yang tomboy ini,  beberapa temanku malah menganggap dia ganteng. Sebagian teman kuliahku memanggil dia Gates, karena dia suka sekali dengan penyanyi bernama Gareth Gates. Seingatku, hanya ada dua orang yang memanggilnya dengan panggilan “Nanik”, yaitu Mba Wastuti dan Dyanggih. Sedangkan temanku yang lain yang bernama Suprek memanggilnya dengan panggilan Mba Nanik. Dalam SMSnya itu, Tom menulis “You got a reward from Suprek”. Entah apa maksud SMS itu.

Suprek atau Supri adalah teman PPLku dan Tom sewaktu kami mengajar di SMA Negeri 1 Surakarta tahun 2009 lalu. Aku dan Tom berasal dari jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Sedangkan Supri dan sahabat karibnya Dyanggih, adalah mahasiswa praktikan Universitas Sebelas Maret dari jurusan Pendidikan Olahraga. Aku dan Tom menyebut mereka berdua sebagai Duo Gaptek Dyanggih dan Supri. Betapa tidak, di zaman modern seperti ini, yang bahkan laptop dimiliki dan dioperasikan hampir semua anak TK, justru sama sekali tidak dikuasai oleh mereka berdua. SAMA SEKALI! Ketika masa akhir PPL tiba, semua mahasiswa harus mengumpulkan laporan observasi tentang sekolah yang kami tempati. Tentu saja all must be computerized. Dan dua makhluk aneh itu menghabiskan hampir setiap waktu sore mereka di boarding house alias kostku untuk merayuku dan Tom agar membantu mereka mengerjakan laporan mereka. Karpet merah kesayangankupun harus rela digelar berhari-hari di ruang tamu sebagai alas tidur mereka ketika mereka lelah. Baru setelah jam dinding menunjukkan pukul 21.00, tanda waktu kunjung kost berakhir, mereka akan melenggang keluar dengan meninggalkan sisa makanan dan tempat yang berserakan. Ke-gaptekan Supri bahkan lebih parah. Di saat semua siswa sudah punya akun twitter dan facebook, Supri baru memiliki facebook beberapa bulan lalu. Itu saja tidak pernah di update.

Dyanggih adalah mahasiswa yang berasal dari Pati. Teman-teman memanggilnya Anggeh. Sedangkan aku lebih suka memanggilnya dengan sebuat “Dy”, karena lebih simple.  Anaknya lumayan ramah dan suka menolong. Suka berbicara dengan memakai bahasa Inggris yang kacau balau. Tingkah lakunya lumayan dewasa, mungkin karena dia adalah anak sulung di keluarganya. Satu kebiasaanya yang tidak pernah bisa kulupakan adalah dia suka sekali tidur di sembarang tempat. Dia bahkan pernah meninggalkan bekas pulau buatan di karpet merah kesayanganku. Aku juga masih menyimpan fotonya yang tertidur lelap di ruang PPL. You look so cute in that pic, pal.

Sedikit berbeda dengan Dyanggih, Supri merupakan manusia yang sedikit menyebalkan menurut Tom, menurutku biasa saja. Dia berasal dari kota yang sama dengan Tom, Sukoharjo. Tidak dapat kupungkiri, anak itu memang sedikit sok dan “kemaki”, tapi pada dasarnya dia lumayan baik dan punya kebiasaan aneh. Aku masih ingat ketika sore itu dia ke kostku dengan memakai kaos kaki dan sandal berwarna pink. Dia juga memakai kotak pensil yang lucu, seperti yang dimiliki oleh kebanyakan anak perempuan. Kata Tom, kotak pensil itu masih ada sampai sekarang. Tulisannya juga sangat rapi, bahkan lebih rapi dari tulisanku yang sudah terkenal sebagai tulisan paling rapi seantero negeri (opiniku sendiri, hehehe). Anak ini suka sekali pada warna merah. Sepeda motornya, kaos olahraganya, sepatunya, semua berwarna merah. Aku bahkan belum pernah melihat Supri mengenakan kaos lain selain warna merah, entah saking banyaknya kaos merah atau dia memang hanya punya satu. Hehehe. Tapi, makhluk aneh ini sungguh sangat setia pada sahabatnya yang bernama Dyanggih. Beberapa kali dia bersungut-sungut di depan kami, melaporkan kelakuan Dyanggih yang hobi sekali molor. Dia jemput Dyanggih ke sekolah pukul enam, tapi si Anggeh ini masih nyenyak bermimpi. Tentu saja Supri harus menungguinya mandi sampai melahap sarapan sama seperti seorang cowok yang menanti kekasihnya berdandan. Dan hal ini terjadi berulang kali. Tapi meski seringkali mengeluh, toh Supri tetap saja menjemput Dyanggih dan mengulangi keluhannya pada kami.

Bnayak hal lucu tentang mereka yang masih berputar-putar di memoriku sampai sekarang. Contohnya tentang istilah “lele”, “nggapleki”, dan “nggateli” yang mereka ajarkan padaku dan Tom. Ketika mengumpat, Dyanggih suka sekali menggunakan istilah “lele”. Sedangkan Supri, lebih sering mengatakan “nggateli” dan “nggapleki”. Entah apa arti istilah itu. Sampai sekarang aku tidak pernah tahu. Satu hal lucu lain tentang mereka adalah ketika mereka berdua masuk tergopoh-gopoh ke ruang PPL di SMA 1 dalam kondisi panik dengan keringat yang tak henti-hentinya mengalir dari leher Supri. Dyanggih berusaha menenangkan sahabat sejatinya itu. Ketika Tom bertanya apa yang terjadi, mereka berdua, dengan nada ketakutan bercerita bahwa ketika mereka mangajar, seorang siswa cedera. Entah apa yang mereka lakukan hingga katanya membuat kepala siswa itu berdarah-darah. Dari ceritanya, sepertinya keadaan siswa itu biasa saja. Tapi dasar Dyanggih-Supri ini orangnya super duper lebay, hal semacam itu sempat membuat adrenalin kami terpacu keras, melebihi keseraman film Suster Ngesot atau Hantu Casablanca. Kelakuan duo ini, terutama sifat kemaki Supri, tentu saja membuat Tom berang. Selama ini, teman kami di program studi (prodi) Bahasa Inggris semuanya normal. Tapi di sisi lain belahan bumi ini, ternyata ada manuasia yang benar-benar “weird” seperti mereka.

Kembali lagi ke SMS dari Tom yang baru saja kubaca. Sekarang ini, aku merasa akhirnya perseteruan searah antara Tom dan Supri sudah hampir usai (akhirnya…). Kusebut perseteruan searah karena nampaknya hanya Tom yang sering keberatan dengan kelakuan Supri, sedang Supri malah semakin gencar menggoda kalau Tom terlihat marah. Dari SMS Supri beberapa hari lalu yang mengatakan mereka punya proyek bersama, juga telah mengindikasikan kalau mereka tidak keberatan terlibat dalam satu pekerjaan. Masih segar dalam ingatanku tentang berbagai kejadian kebencian Tom pada Supri dua tahun lalu. Saking bencinya, Tom (dan juga aku) suka menyebut Supri sebagai salah satu lakon game bernama Poke yang setiap hari kami mainkan. Saat itu, semua mahasiswa PPL di SMA 1 terkena syndrome game poke, kami menyebutnya. Kalau kami sedang tidak ada tugas, dapat dipastikan kami akan nongkrong di depan laptop atau komputer ruang PPL untuk menyelesaikan game poke bersama. Sebenarnya tidak semua. Hanya aku, Tom, Tutur, Khitna, Dyanggih, dan Supri saja yang tergila-gila dengan game ini. Tutur dan Khitna adalah dua orang mahasiswa genius dari prodi Matematika. Karena kejeniusan itu, mereka kami paksa untuk membantu permainan. Selain kami, semua normal dan menjalankan tugas dengan penuh tanggungjawab. Mereka bahkan tidak sempat menyambangi file atau program berbau game atau sejenisnya. Nah, di game poke ini ada seekor lakon berwujud monyet. Kami berdua, Tom dan aku, suka sekali cekikikan setiap melihat ikon game ini. Kami merepresentasikan monyet ini sebagai Supri di dunia game. KEJAMNYA! Ini juga salah satu alasanku beberapa hari yang lalu mengirimi SMS permohonan maaf. Dosaku dan Tom di masa lalu cukup membuat kami berlama-lama di neraka kelak. Hehe, peace…Supri!

Pertemanan erat antara Tom dan aku dengan duo gaptek Dyanggih dan Supri memang hanya enam bulan selama masa PPL saja (bayangkan, kami berdua melewati masa-masa menyedihkan bersama duo gaptek yang payah selama enam bulan, padahal PPL universitas di kotaku hanya PPL selama dua bulan) memang tidak selalu menyenangkan. Namun, kenangan aneh bersama mereka cukup bisa membuatku tersenyum bila mengingatnya. Kadang juga membuatku bisa menangis merindukan mereka karena mustahil bagi kami untuk mengulangi masa pergi membunuh (baca: go kill) kami dulu. Dyanggih saat ini tinggal di Jakarta, menjadi seorang guru olahraga di sebuah sekolah dasar bertaraf internasional. Tom tinggal di Wonoharjo, sebuah tempat perbatasan antara Sukoharjo dan Wonogiri, tempat asalnya. Aku tinggal di kota asalku juga, Purworejo Berirama. Sedangkan Supri, entah hidup di mana. Meski aku masih menyimpan nomor handphonenya, rasanya enggan untuk bertanya. Well, you must know guys, I miss you much. I luph u all. ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IHT 2019

download here: https://drive.google.com/file/d/1lcitNhP0T9GSS7mMimlo9hpthf-Cn4Id/view?usp=sharing