Senin, 27 Agustus 2012

HANTU vs TUHAN

Pernahkah kalian melihat hantu? Kata nenekku, sewaktu muda dahulu beliau pernah dihadang kuntilanak di dekat pohon asam tua di tengah desa. Masa iya sih? Aku tidak percaya. Ibuku juga pernah bercerita kalau setiap akan nada orang meninggal, pohon bambu di belakang rumah pasti berbunyi “klotak klotak”. Tapi aku juga belum pernah mendengar bunyinya. Masih banyak lagi cerita lain yang menceritakan tentang keseraman hantu atau hal berbau klenik lain. Tapi masa iya sih? Manusia dan hantu kan punya dua dunia yang berbeda. Ngapain juga hantu ganggu kita? Kurang kerjaan banget kan. Opini pribadiku ini bertahan sampai suatu ketika…

Saat itu aku sedang dalam perjalanan pulang dari Yogyakarta ke Purworejo. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 malam lebih kurasa. Aku sendirian, mengendarai motorku. Dari kota Purworejo sampai rumahku, aku masih harus menempuh perjalanan kurang lebih 15 menit, karena rumahku berjarak 12 km dari pusat kota. Dari kota sampai pertigaan daerah bernama Maron, suasana masih biasa saja. Masih banyak lampu jalan dan rumah penduduk di area sepanjang jalan itu. Namun, jalanan mulai sepi ketika motorku mulai melaju dari arah desa Maron ke rumahku. Hmm, masih empat kilometer lagi baru aku bisa merebahkan badanku di kasur empukku.

Dari pertigaan desa itu, ada sebuah tempat yang kata orang dianggap sebagai tempat yang penuh misteri dan angker. Setono Segemblong. Setono adalah istilah yang diambil dari bahasa Jawa setempat yang artinya kuburan. Kuburan itu bernama Kuburan Segemblong, atau Setono Segemblong.

Perasaan takut dan was-was mulai menggerayangiku ketika aku memasuki daerah Jetak, kurang lebih 200 meter dari pertigaan Maron. Sebenarnya ketakutanku bukan berasal dari adanya hantu. Hari gini masa iya ada hantu, pikirku. Lagian kan aku naik motor, bisa langsung tancap gas kalau dikejar. Ya kan? Ketakutanku lebih berasal dari adanya rampok atau penjahat yang bisa saja menghadangku di jalan. Berkeliarannya makhluk cantik macam aku malam-malam seperti ini pasti kan mengundang bandit (eh eh eh, cantik ya…jadi batuk). Memasuki daerah Jetak, aku mulai menggigil kedinginan. Maklum saat itu hujan deras. Lampu rumah penduduk di sekitar daerah itu padam total, dan tidak ada lampu penerangan jalan di area itu. Busyet dah. Gelap banget. Seratus meter, dua ratus meter, dan akhirnya sebentar lagi aku akan melewati Setono Segemblong yang terkenal angker itu. Ketika aku melintas pas di depan gerbang kuburan itu, tiba-tiba motorku berhenti. Apaan lagi ini! Malah mogok. Pas di gerbang pula. Sialan, umpatku dalam hati. Aku pun turun dari motorku. Kutendang ban motor untuk melampiaskan kejengkelanku seperti dalam sinetron-sinetron di TV. Hujan belum kunjung reda. Daerah itu juga sepi, tak ada satu rumah pun yang berdiri di sekitar kuburan itu. Ya iyalah! Secara itu kuburan, masa mau dirikan rumah dekat-dekat situ, kayak tidak ada tempat lain aja. Kukeluarkan HPku, berniat menelepon bapakku, minta dijemput. Tapi  ternyata HP itu mati. Ingin rasanya aku berteriak minta pertolongan saat itu. Tapi mana ada orang lewatj jam segitu? Ini bukan kota metropolitan, bung! Aku terduduk di pinggiran jalan, berharap akan ada mobil atau kendaraan lain yang lewat, dalam kondisi HAMPIR menangis (seingatku, terakhir kali aku menangis adalah pas aku lahir, hehe). Rasanya seperti seratus tahun aku diam di sana. Tapi ternyata baru sepuluh menit. Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali menunggu. Aku belum pernah mengalami hal yang namanya mogok di jalan sepi sebelum ini. Tiba-tiba, ada suara memanggilku.
“Motornya kenapa mbak?” seorang bapak separuh baya muncul. Entah darimana datangnya si bapak ini. Dia mengenakan sarung yang dikalungkan di lehernya, celana pendek tiga perempat seperti yang biasa dikenakan oleh orang Madura, sandal jepit, kaos warna gelap, dan peci hitam. Tangan kanannya menggenggam payung warna hitam. Kurang lebih penampilannya seperti itu. Aku lupa. Maklum saja, kejadiannya kan sudah dua tahun lalu.
“Mogok Pak, tidak tahu kenapa” jawabku sedikit lega karena akhirnya ada orang lewat. Bapak ini mungkin  adalah salah seorang warga yang sedang jaga ronda malam ini, pikirku.
“Sini saya bantu” si bapak itu langsung memeriksa motorku.
Kurang lebih lima menit setelah bapak itu melihat dan mengecek motorku, si motor yang kunamai Edgarda ini bisa menyala. Edgarda adalah kata yang berasal dari bahasa Anglo Saxon, kalau tidak salah, yang berarti pahlawan sejati.
“Alhamdulilah” batinku.
“Ini mbak, motornya sudah menyala. Saya permisi dahulu” kata si bapak itu berpamitan.
“Duh, terimakasih sekali Pak… Ini ada sedikit ongkos buat beli rokok untuk Bapak. Anggap saja sebagai ungkapan terimakasih dari saya” kataku sembari menyorongkan selembar uang sepuluh ribuan pada malaikat penyelamatku itu.
“Tidak usah Mbak. Rusaknya tidak parah kok. Saya permisi dulu” kata orang itu sambil berlalu pergi.
“Ya sudahlah. Tapi saya terimakasih sekali ya” jawabku setengah berteriak karena orang itu hamper lenyap ditelan pekatnya malam dan derasnya hujan. Lumayan, uangku yang sepuluh ribu tidak jadi melayang. Masih bisa kupakai untuk jajanku esok hari, hi hi hi.
Aku sudah bersiap-siap untuk men-starter motorku. Kucoba sekali, tapi kok tidak berhasil. Mati. Kugenjot starter manual di sebelah kanan kakiku. Tidak berhasil. Kuulangi lagi berkali-kali. Tetap tidak mau hidup juga. Kutolehkan kepalaku ke arah si bapak tadi menghilang. Rasanya dia berjalan kearah selatan.
“Paaakkk, tolong saya lagi Pak! Motor saya mogok lagi!” teriakku panik.
Tidak ada sahutan atau suara yang menjawabku. Aneh. Padahal belum ada semenit lalu si bapak itu pergi meninggalkanku. Kok sekarang sudah raib.

Tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Entah apa yang membuat rasa takut yang begitu mencekam melandaku. Jangan-jangan si bapak tadi hantu!!! Aku tidak mau lagi duduk menunggu bala bantuan yang hendak membantuku seperti yang kulakukan tadi. Langsung saja kudorong motorku, balik lagi ke arah Maron. Daerah di sekitar itu memang tidak datar. Rumahku terletak di area yang lumayan tinggi, sehingga jika ada motor mogok atau kehabisan bensin bisa mendorong saja turun ke desa Maron tanpa perlu menghidupkan mesinnya. Tak kuasa lagi aku menahan rasa cemas dan takut di hati dan otakku. Pelan tapi pasti, motorku melaju ke bawah. Jantungku berdegup kencang tidak karuan. Sumpah aku ketakutan setengah mati. Sesampainya di pertigaan desa Maron, motorku hidup kembali. Hidup sendiri tanpa kuapa-apakan. Astaga naga! Apalagi ini? Tapi syukurlah ya Allah.

Kutata napasku selama lima menit. Kubaca basmalah dan ayat kursi. Lalu kuputar balik motorku. Kukumpulkan keberanianku untuk pulang. “Pulang” menjadi kata yang amat menyeramkan buatku. Bagaimana tidak? Kalau aku mau pulang, berarti aku harus melewati kuburan itu lagi. Bagaimana kalau motorku mogok lagi di tempat itu? Kubuang jauh-jauh pikiran itu. Kubulatkan tekad untuk melewati kuburan itu. Lalu dengan membaca doa, kulajukan motorku. Dan akhirnya…lima menit setelah saat itu…aku berhasil sampai di rumah. Dengan selamat.

Itulah pengalamanku. Nyata, bukan rekaan semata. Sampai saat ini, aku masih juga tidak tahu apakah si bapak yang menolongku itu manusia atau bukan. Tidak juga kupikirkan kuburan itu angker atau tidak. Yang jelas, setan itu memang ada. Mereka hidup berdampingan dengan kita. Tapi yakinlan, Allah selalu ada untuk melindungi kita, hamba yang sangat dicintai-Nya.

Minggu, 26 Agustus 2012

Duo Gaptek Dyanggih Supri


Diam. Sepi. Sunyi sekali rumahku hari ini. Padahal, hari ini masih merupakan hari ke-enam Idul Fitri. Dahulu kala, saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar, aku biasa menghabiskan tujuh hari dalam tiap-tiap bulan Syawal untuk mengunjungi sanak saudara. Kegiatan itu terjadi di setiap bulan Syawal dulu sekali, kurang lebih lima belas tahun lalu, tentu saja bersama kedua orangtuaku yang galak tapi amat sangat kucintai (sorry, mommy J ). Namun saat ini, semua kebiasaan berubah 180 derajat. Memang sesuatu itu tidak pernah ada yang abadi. Laku kehidupan mengalir seperti perputaran roda. Dahulu, keluarga kami yang datang berkunjung. Namun sekarang, kami yang dikunjungi. Agak bosan memang buatku kalau hanya menunggu tamu seharian di rumah. Iseng iseng, kubuka handphoneku. Ada satu SMS dari Tom, teman kuliahku di universitas. Nama aslinya adalah Nanik Sri Retnaningsih. Namun, aku biasa memanggilnya dengan sapaan Tom, karena dia “tom”boy. Penampilannya tidak ubahnya seperti anak laki-laki. Sepatu kets, kaos oblong, tas ransel, dan topi. Dia suka sekali minum es. Kulitnya putih, pertama bertemu dengannya kupikir dia adalah seorang warga negara keturunan, dan wajahnya cantik. Tapi karena penampilannya yang tomboy ini,  beberapa temanku malah menganggap dia ganteng. Sebagian teman kuliahku memanggil dia Gates, karena dia suka sekali dengan penyanyi bernama Gareth Gates. Seingatku, hanya ada dua orang yang memanggilnya dengan panggilan “Nanik”, yaitu Mba Wastuti dan Dyanggih. Sedangkan temanku yang lain yang bernama Suprek memanggilnya dengan panggilan Mba Nanik. Dalam SMSnya itu, Tom menulis “You got a reward from Suprek”. Entah apa maksud SMS itu.

Suprek atau Supri adalah teman PPLku dan Tom sewaktu kami mengajar di SMA Negeri 1 Surakarta tahun 2009 lalu. Aku dan Tom berasal dari jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Sedangkan Supri dan sahabat karibnya Dyanggih, adalah mahasiswa praktikan Universitas Sebelas Maret dari jurusan Pendidikan Olahraga. Aku dan Tom menyebut mereka berdua sebagai Duo Gaptek Dyanggih dan Supri. Betapa tidak, di zaman modern seperti ini, yang bahkan laptop dimiliki dan dioperasikan hampir semua anak TK, justru sama sekali tidak dikuasai oleh mereka berdua. SAMA SEKALI! Ketika masa akhir PPL tiba, semua mahasiswa harus mengumpulkan laporan observasi tentang sekolah yang kami tempati. Tentu saja all must be computerized. Dan dua makhluk aneh itu menghabiskan hampir setiap waktu sore mereka di boarding house alias kostku untuk merayuku dan Tom agar membantu mereka mengerjakan laporan mereka. Karpet merah kesayangankupun harus rela digelar berhari-hari di ruang tamu sebagai alas tidur mereka ketika mereka lelah. Baru setelah jam dinding menunjukkan pukul 21.00, tanda waktu kunjung kost berakhir, mereka akan melenggang keluar dengan meninggalkan sisa makanan dan tempat yang berserakan. Ke-gaptekan Supri bahkan lebih parah. Di saat semua siswa sudah punya akun twitter dan facebook, Supri baru memiliki facebook beberapa bulan lalu. Itu saja tidak pernah di update.

Dyanggih adalah mahasiswa yang berasal dari Pati. Teman-teman memanggilnya Anggeh. Sedangkan aku lebih suka memanggilnya dengan sebuat “Dy”, karena lebih simple.  Anaknya lumayan ramah dan suka menolong. Suka berbicara dengan memakai bahasa Inggris yang kacau balau. Tingkah lakunya lumayan dewasa, mungkin karena dia adalah anak sulung di keluarganya. Satu kebiasaanya yang tidak pernah bisa kulupakan adalah dia suka sekali tidur di sembarang tempat. Dia bahkan pernah meninggalkan bekas pulau buatan di karpet merah kesayanganku. Aku juga masih menyimpan fotonya yang tertidur lelap di ruang PPL. You look so cute in that pic, pal.

Sedikit berbeda dengan Dyanggih, Supri merupakan manusia yang sedikit menyebalkan menurut Tom, menurutku biasa saja. Dia berasal dari kota yang sama dengan Tom, Sukoharjo. Tidak dapat kupungkiri, anak itu memang sedikit sok dan “kemaki”, tapi pada dasarnya dia lumayan baik dan punya kebiasaan aneh. Aku masih ingat ketika sore itu dia ke kostku dengan memakai kaos kaki dan sandal berwarna pink. Dia juga memakai kotak pensil yang lucu, seperti yang dimiliki oleh kebanyakan anak perempuan. Kata Tom, kotak pensil itu masih ada sampai sekarang. Tulisannya juga sangat rapi, bahkan lebih rapi dari tulisanku yang sudah terkenal sebagai tulisan paling rapi seantero negeri (opiniku sendiri, hehehe). Anak ini suka sekali pada warna merah. Sepeda motornya, kaos olahraganya, sepatunya, semua berwarna merah. Aku bahkan belum pernah melihat Supri mengenakan kaos lain selain warna merah, entah saking banyaknya kaos merah atau dia memang hanya punya satu. Hehehe. Tapi, makhluk aneh ini sungguh sangat setia pada sahabatnya yang bernama Dyanggih. Beberapa kali dia bersungut-sungut di depan kami, melaporkan kelakuan Dyanggih yang hobi sekali molor. Dia jemput Dyanggih ke sekolah pukul enam, tapi si Anggeh ini masih nyenyak bermimpi. Tentu saja Supri harus menungguinya mandi sampai melahap sarapan sama seperti seorang cowok yang menanti kekasihnya berdandan. Dan hal ini terjadi berulang kali. Tapi meski seringkali mengeluh, toh Supri tetap saja menjemput Dyanggih dan mengulangi keluhannya pada kami.

Bnayak hal lucu tentang mereka yang masih berputar-putar di memoriku sampai sekarang. Contohnya tentang istilah “lele”, “nggapleki”, dan “nggateli” yang mereka ajarkan padaku dan Tom. Ketika mengumpat, Dyanggih suka sekali menggunakan istilah “lele”. Sedangkan Supri, lebih sering mengatakan “nggateli” dan “nggapleki”. Entah apa arti istilah itu. Sampai sekarang aku tidak pernah tahu. Satu hal lucu lain tentang mereka adalah ketika mereka berdua masuk tergopoh-gopoh ke ruang PPL di SMA 1 dalam kondisi panik dengan keringat yang tak henti-hentinya mengalir dari leher Supri. Dyanggih berusaha menenangkan sahabat sejatinya itu. Ketika Tom bertanya apa yang terjadi, mereka berdua, dengan nada ketakutan bercerita bahwa ketika mereka mangajar, seorang siswa cedera. Entah apa yang mereka lakukan hingga katanya membuat kepala siswa itu berdarah-darah. Dari ceritanya, sepertinya keadaan siswa itu biasa saja. Tapi dasar Dyanggih-Supri ini orangnya super duper lebay, hal semacam itu sempat membuat adrenalin kami terpacu keras, melebihi keseraman film Suster Ngesot atau Hantu Casablanca. Kelakuan duo ini, terutama sifat kemaki Supri, tentu saja membuat Tom berang. Selama ini, teman kami di program studi (prodi) Bahasa Inggris semuanya normal. Tapi di sisi lain belahan bumi ini, ternyata ada manuasia yang benar-benar “weird” seperti mereka.

Kembali lagi ke SMS dari Tom yang baru saja kubaca. Sekarang ini, aku merasa akhirnya perseteruan searah antara Tom dan Supri sudah hampir usai (akhirnya…). Kusebut perseteruan searah karena nampaknya hanya Tom yang sering keberatan dengan kelakuan Supri, sedang Supri malah semakin gencar menggoda kalau Tom terlihat marah. Dari SMS Supri beberapa hari lalu yang mengatakan mereka punya proyek bersama, juga telah mengindikasikan kalau mereka tidak keberatan terlibat dalam satu pekerjaan. Masih segar dalam ingatanku tentang berbagai kejadian kebencian Tom pada Supri dua tahun lalu. Saking bencinya, Tom (dan juga aku) suka menyebut Supri sebagai salah satu lakon game bernama Poke yang setiap hari kami mainkan. Saat itu, semua mahasiswa PPL di SMA 1 terkena syndrome game poke, kami menyebutnya. Kalau kami sedang tidak ada tugas, dapat dipastikan kami akan nongkrong di depan laptop atau komputer ruang PPL untuk menyelesaikan game poke bersama. Sebenarnya tidak semua. Hanya aku, Tom, Tutur, Khitna, Dyanggih, dan Supri saja yang tergila-gila dengan game ini. Tutur dan Khitna adalah dua orang mahasiswa genius dari prodi Matematika. Karena kejeniusan itu, mereka kami paksa untuk membantu permainan. Selain kami, semua normal dan menjalankan tugas dengan penuh tanggungjawab. Mereka bahkan tidak sempat menyambangi file atau program berbau game atau sejenisnya. Nah, di game poke ini ada seekor lakon berwujud monyet. Kami berdua, Tom dan aku, suka sekali cekikikan setiap melihat ikon game ini. Kami merepresentasikan monyet ini sebagai Supri di dunia game. KEJAMNYA! Ini juga salah satu alasanku beberapa hari yang lalu mengirimi SMS permohonan maaf. Dosaku dan Tom di masa lalu cukup membuat kami berlama-lama di neraka kelak. Hehe, peace…Supri!

Pertemanan erat antara Tom dan aku dengan duo gaptek Dyanggih dan Supri memang hanya enam bulan selama masa PPL saja (bayangkan, kami berdua melewati masa-masa menyedihkan bersama duo gaptek yang payah selama enam bulan, padahal PPL universitas di kotaku hanya PPL selama dua bulan) memang tidak selalu menyenangkan. Namun, kenangan aneh bersama mereka cukup bisa membuatku tersenyum bila mengingatnya. Kadang juga membuatku bisa menangis merindukan mereka karena mustahil bagi kami untuk mengulangi masa pergi membunuh (baca: go kill) kami dulu. Dyanggih saat ini tinggal di Jakarta, menjadi seorang guru olahraga di sebuah sekolah dasar bertaraf internasional. Tom tinggal di Wonoharjo, sebuah tempat perbatasan antara Sukoharjo dan Wonogiri, tempat asalnya. Aku tinggal di kota asalku juga, Purworejo Berirama. Sedangkan Supri, entah hidup di mana. Meski aku masih menyimpan nomor handphonenya, rasanya enggan untuk bertanya. Well, you must know guys, I miss you much. I luph u all. ^_^

IHT 2019

download here: https://drive.google.com/file/d/1lcitNhP0T9GSS7mMimlo9hpthf-Cn4Id/view?usp=sharing